R.A. KARTINI
Assalamu’alaykum
wr.wb.
Halo guys? Apa kabar
nih? Semoga kita semua baik-baik saja yah.
Ini adalah postan
pertama saya jadi afwan(maaf) kalo ada salah-salah dalam penulisan kata, hehehe
Oh ya sebelumnya siapa
sih yg ngga kenal saya? Saya adalah orang yang sangat terkenal di keluarga saya
sendiri, wkwkwk. Perkenalkan nama saya adalah Amsal Wahyudi saya lulusan dari
SMK N 1 Slawi, Tegal. Dan alhamdulillah sekarang saya di beri rezeki untuk
meneruskan pendidikan saya di UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA dengan prodi
Pendidikan TIK.
Kebetulan sekali nih
gan ini adalah postan pertama kali saya dan mengangkat tema inspiring story
seorang tokoh kemerdekaan.Di sini saya akan mengangkat seorang wanita yang
berperan penting dalam kesejahteraan wanita sampai sekarang ini, menurut kalian
siapa nih wanita tersebut? Yap benar sekali beliau adalah R.A. Kartini, ingat
yah guys R.A. Kartini bukan R.A.ditya Dika, hehehe becanda gan.
Langsung saja kita ulas
langsung mengenai perjuangan R.A. Kartini untuk memberikan kesejahteraan kepada
semua wanita indonesia sampai sekarang ini.
Raden Adjeng Kartini,
lahir di Jepara Jawa Tengah tanggal 21 April 1879. Atau lebih tepatnya ia
dipanggil dengan nama Raden Ayu Kartini, karena pada dasarnya gelar Raden Adjeng hanya berlaku ketika belum menikah,
sedangkan Raden Ayu adalah gelar untuk wanita bangsawan yang menikah dengan
pria bangsawan dari keturunan generasi kedua hingga ke delapan dari seorang
raja Jawa yang pernah memerintah. Kartini sendiri menikah dengan bupati
Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada tanggal 12 November
1903 yang telah mempunyai tiga istri. Dari pernikahannya tersebut ia
dikaruniahi seorang anak perempuan bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir
pada tanggal 13 September 1904.
Awal Perjuangan RA. Kartini
Sejarah perjuangan RA. Kartini berawal saat
beliau berumur 12 tahun. Saat itu beliau ingin melanjutkan pendidikannya ke
jenjang yang lebih tinggi namun dilarang oleh orang tuanya.
RA. Kartini yang lulusan dari Europese Lagere
School (ELS) sangat fasih dalam berbahasa Belanda sehingga beliau merasa
sanggup mengikuti jenjang yang lebih tinggi dengan kemampuan tersebut.
Namun penjelasan itu tidak dihiraukan oleh
ayahnya yang melarang RA.Kartini untuk mengejar cita-cita bersekolah. Alasannya
tidak lain dan tidak bukan karena usia beliau yang sudah 12 tahun menandakan
bahwa saatnya untuk dipingit dan segera menikah.
Saat itu beliau tidak punya pilihan lain selain
ikut apa kata orang tuanya yang artinya RA. Kartini harus menjalani pingit.
RA, Kartini Dalam Masa Pingitan
Selama dipingit itulah beliau menulis surat-surat
kepada teman berkirim suratnya yang sebagian besar orang Belanda. Disitulah
beliau kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sangat mendukung perjuangan RA.
Kartini untuk mendapatkan hak-hak sebagai manusia meski dia perempuan.
Semetara itu Rosa Abendanon juga sering
mengirimkan buku-buku dan surat kabar dari Eropa pada RA. Kartini kecil
sehingga pemikirannya menjadi lebih maju. Dalam surat kabar tersebut
memberitakan wanita-wanita Eropa memiliki kedudukan yang sama untuk meraih
hak-haknya sedangkan di Indonesia wanita berada pada strata sosial yang amat
rendah.
Akhir Pingitan dan Awal dari Cita-cita RA. Kartini
Pada saat RA. Kartini berusia 20 tahun beliau
sudah menyelesaikan buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus,
Max Havelaar dan juga Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli dan Van Eeden,
Roman-feminis dari Goekoop de-Jong Van Beek dan Die Waffen Nieder mengenai
Roman anti-perang oleh Berta Von Suttner. Buku-buku bertulisan belanda tersebut
membuat beliau makin terbuka pikirannya dan semakin maju.
Kemudian pada tanggal 12 November 1903 pingitan
berakhir dan beliau harus menikah dengan bupati Rembang bernama K.R.M. Adipati
Ario Singgih Djojo Adhiningrat atas pilihan orang tuanya. Saat itu RA. Kartini
berstatus istri kedua bupati Rembang tersebut. Meski begitu suaminya sangat
mendukung cita-cita beliau dan bahkan memperbolehkan RA. Kartini membangun
sekolah khusus wanita.
Akhir Hayat dan Perjuangan yang Diteruskan
Selama pernikahannya, RA. Kartini dikaruniai satu
putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. RA. Kartini kemudian menghembuskan
nafas terakhirnya empat hari setelah melahirkan. Beliau wafat pada usia 25
tahun.
Perjuangan RA. Kartini tidak terhenti bahkan
setelah beliau wafat. Perjuangan tersebut diteruskan oleh sahabatnya Rosa
Abendanon yang membukukan surat-surat keduanya menjadi sebuah buku.Buku itu
diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya “Dari Kegelapan Menuju
Cahaya”.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Buku Door Duisternis tot Licht buah pikiran RA.
Kartini tersebut diterbitkan pada tahun 1911 dan disebarluaskan di eropa dan
kemudian di Indonesia dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1922 buku tersebut
diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh Balai Pustaka. Buku terjemahan tersebut
diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran”.
Selanjutnya pada tahun 1938, sastrawan Armijn
Pane menerbitkan terjemahan dalam judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang
berisi lima bab cara berpikir RA. Kartini.
Hikmah yang dapat kita ambil dari kisah R.A.
Kartini khusunya untuk saya pribadi adalah :
“Janganlah menganggap remeh wanita karena sejatinya
wanitapun dapat berjuang seperti layaknya seorang laki-laki dan janganlah
membatasi haknya untuk berkarya”
Sekiranya itu saja nih gan yang dapat saya
sampaikan.
Wassalamu’alaykum wr.wb.
Komentar
Posting Komentar